Kamis, 22 Desember 2011

Investigasi Peraturan THM Malili Luwu Timur

Oleh. Nasrum Naba  ( Aktivis LSM dan PERS ) 

      Beberapa warga masyarakat Kab Luwu Timur yang selama ini, kapasitasnya sebagai pengelola THM, mulai merasa tidak nyaman dengan metode penegakan hukum pihak Polres Luwu Timur. Hal ini terungkap mulai sejak tertangkapnya minuman beralkohol Gol A yang berkadar 5% (BIR) oleh Kasat SAMAPTA Polres Luwu Timur AKP Muh Fadil yang dua sebelumnya, barang bukti yang sama sempat terjaring dan berhasil digelandang masuk Mapolres. Sayangnya, upaya yang dilakukan oleh Kasat SAMAPTA tidak berhasil membuahkan proses hukum lanjut higga ke PN Malili, melainkan di selesaikan ditempat (86-kan) dengan indikasi bahwa pemilik barang bukti diduga keras menebusnya sebesar Rp 1.5 juta.
       Berselang dua hari kemuadian, mobil kanvas yang memuat barang bukti minuman beralkohol gol A tersebut, kembali ditangkap setelah didrop kesalah satu tempat (WM) sebagai titipan oleh pemiliknya "AS". Karena sempat ketahuan oleh pihak SAMAPTA Polres Luwu Timur, akhirnya sebanyak 50 Dos minuman beralkohol tersebut menjadi sasaran target untuk kemudian ditangkap dan disita kembali setelah dikirim ketempat salah satu THM yang beralamat di KM 3 sebelum perbatasan Sultra, Kamp Batumenggoro desa Harapan Kec Malili Kab Luwu Timur.
Barang bukti yang sebelumnya telah pernah ditangkap pihak SAMAPTA Polres Luwu Timur tersebut, kembali ditangkap dan digiring kembali ke Mapolres Luwu Timur untuk dijadikan sebagai barang bukti. Berhubung oleh karena proses penangkapannya serta penyitaannya menuai sorotan hingga dilaporkan kepada Kapolda Sulselbar, seakan proses hukumnya seakan-akan dipaksakan untuk diproses lanjut hingga ke PN Malili dan akhirnya, pun oleh PN Malili menyatakan perbuatan bagi pemilik BB yanh disangka melakukan Tindak Pidana Ringan tentang pelanggaran PERDA Kab Luwu Timur no.2thn 2007 tentang Penertiban Minuman Keras dengan Vonis Pidana kurungan selama 1 Bulan Pidana dengan hukuman percobaan pidana selama 4 bulan.
       Atas proses hukum yang telah mendapatkan penetapan hukum oleh pihak PN Malili sebagai tindak Pidana Ringan bagi si pemilik barang selaku pengelola THM itu, karena oleh si pemilik sekaligus sebagai pengelola THM tidak di lengkapi surat izin dari pihak instansi terkait oleh Koperindag Kab Luwu Timur.
      Cuma saja, menurut pengakuan sejumlah pengelolah THM berhasil dikonfirmasi wartawan Metro Post baru-baru ini, dengan tegas dan penuh rasa kecewa terhadap pihak Pemda Kab Luwu  Timur karena pihaknya bukannya sengaja melakukan pelanggaran dengan tidak mau memiliki izin, melainkan pihak Pemdalah yang tanpa alasan secara otentik dan konrit, selama ini tidak mau mengeluarkan rekomendasi untuk penerbitan isin usaha tempat hiburan malam, kecuali izin dibolehkan untuk diterbitkan tapi dengan berkedok pembohongan yakni, izin usaha Warung Makan yang notabene membolehkan menjual minuman beralkohol seperti beberapa tahun sebelumnya.
        Menyikapi sejumlah pengaduan para pengelola THM di Kab Luwu Timur yang sebenarnya telah memiliki wadah Asosiasi yang berbadan hukum Akte Notaris tersebut, seyognya mendapat perlakuan hukum yang lebih arif, bijak dan manusiawi yang juga adalah selaku warga negara yang mempunyai hak dan kewajiban yang sama dengan warga negara lainnya di NKRI ini. Pernyataan sikap secara tegas oleh Nasrum Naba selaku LSM Pendamping dalam pembentukan Asosiasi THM di Kab Luwu Timur, yang maksud dan tujuannya adalah untuk lebih memudahkan dilakukan pengawasan dan pembinaan serta pengamanannya, menilai bahwa tindakan Kapolres Luwu Timur tersebut sarat telah melanggar ketentuan Peraturan Presiden RI Nomor. 3 tahun 1997 tentang peredaran dan pengawasan Minuman Miras. Akan tetapi menurut Nasrum, minuman beralkohol jenis Gol Bir, itu tidak termasuk Golongan Minuman Keras sesuai Pernyataan Kapolda Sulselra Irjend Pol Drs H Jhoni Wainal Usman, M.Si baru-baqru ini dalam rangka Kunjungan Kerjanya  di Polres Luwu Timur di Malili.
Berbeda dengan pernyataan Kapolres Luwu Timur AKBP Andi Firman yang mengatakan bahwa THM seperti ini adalah merupakan suatu penyakit sosial masyarakat. Cuma saja, mengapa sejumlah minuman yang tidak termasuk golongan Miras harus disita? Atau karena persoalan penangkapan sebelumnya yang notabene sarat patut dinilai telah terjadi upaya memperjual belikan hukum terhadap BB yang sama? Nasrum Naba yang juga selaku pengurus Senat Fakultas Hukum Univ Andi Djemma, yang sekaligus selaku Aktifis LSM dan PERS, mengaku tidak akan tinggal diam terkait dengan adanya pengaduan masyarakat atas pe3rlindungan HAM yang sarat terkesampingkan dengan tanpa sosialisasi pemberitahuan serta penyuluhan hukum selama ini terkait dengan pengelolaan THM tyang digelutinya sebagai sumber penghidupan untuk hidup layak satu-satunya.

Rabu, 21 Desember 2011

        Tidaklah diragukan bahwa siapa yang membaca dan memahami pembahasan-pembahasan yang telah lalu seputar keindahan Islam dan tuntunan syari'at dalam masalah jihad, maka ia akan dapat menarik kesimpulan pasti dan meyakinkan bahwa terorisme dengan makna yang banyak dibicarakan saat ini adalah sesuatu hal yang diharamkan dan tercela dalam pandangan syari'at Islam.
     Bagaimana mungkin agama kita membolehkan terorisme sementara nash-nash dari Al-Qur`ân dan As-Sunnah menjelaskan bahwa Islam sangat menegakkan keamanan dan menyeru manusia untuk mengadakan perbaikan dan melarang dari berbuat kerusakan di muka bumi. Terorisme yang dasarnya adalah keseweng-wenangan terhadap manusia sangat bertentangan dengan prinsip-prinsip agama yang dibangun di atas keadilan.  Dan terorisme yang sifatnya kekerasan, menghancurkan, merusak, dst... sangatlah bertolak belakang dengan syari'at Islam yang penuh rahmat dan kebaikan bagi manusia. Karena itu hukum Islam terhadap pelaku terorisme sangatlah keras dan tegas. Perhatikan hukum Islam tersebut diterangkan dalam keputusan Majelis Hai'ah Kibâr 'Ulama (Lembaga Ulama Besar) No.148 tanggal 12/1/1409 H (9/5/1998 M) yang dimuat oleh majalah Majma' Al-Fiqh Al-Islâmy edisi 2 hal.181 dan majalah Al-Buhûts Al-Islâmiyah edisi 24 hal.384-387, dengan persetujuan dan tanda tangan para anggota majelis seperti Syaikh Ibnu Bâzz, Syaikh Ibnu 'Utsaimîn, Syaikh 'Abdul 'Azîz Âlu Asy-Syaikh, Syaikh Shôlih Al-Fauzân, Syaikh Shôlih Al-Luhaidân dan 12 anggota yang lainnya.
الْحَمْدُ للهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ وَالْعَاقِبَةُ لِلْمُتَّقِيْنَ ، وَلاَ عُدْوَانَ إِلاَّ عَلَى الظَّالِمِيْنَ. وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ وَبَارَكَ عَلَى خَيْرِ خَلْقِهِ أَجْمَعِيْنَ ، نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَصَحْبِهِ أَجْمَعِيْنَ وَمَنِ اهْتَدَى بِهَدْيِهِ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنِ. وَبَعْدُ:
Majelis Hai`ah Kibâr 'Ulama dalam sidangnya yang ke-32 yang diselenggarakan di kota Thâ`ifdari tanggal 8-12/1/1409 H, berdasarkan bukti-bukti yang kuat berkaitan dengan banyaknya aksi-aksi perusakan yang telah menelan korban yang sangat banyak dari kalangan orang-orang yang tidak berdosa dan telah rusak karenanya (sesuatu yang) banyak dari harta benda, hak-hak milik maupun fasilitas-fasilitas umum baik di negeri-negeri Islam maupun yang di negeri lain yang dilakukan oleh orang-orang yang lemah atau hilang imannya dari orang-orang yang memiliki jiwa yang sakit dan dendam. Diantaranya menghancurkan rumah-rumah dan membakarnya baik tempat-tempat umum maupun yang khusus, menghancurkan jembatan-jembatan dan terowongan-terowongan, peledakan pesawat atau membajaknya. Melihat kejadian-kejadian seperti ini, beberapa negara baik yang dekat maupun yang jauh dan karena Arab Saudi sama seperti negara-negara lainnya, memiliki kemungkinan akan diserbu oleh aksi-aksi perusakan ini, maka Majelis Hai`ah Kibâr 'Ulama melihat sangat pentingnya menetapkan hukuman bagi pelakunya sebagai langkah preventif untuk mencegah orang-orang dari melakukan gerakan perusakan, baik gerakan tersebut dilakukan terhadap tempat-tempat umum dan sarana-sarana milik pemerintah maupun ditujukan kepada yang lainnya dengan tujuan untuk merusak dan mengganggu keamanan dan ketentraman.
      Majelis telah meneliti apa yang disebutkan oleh para ulama bahwa hukum-hukum syari'at secara umum mewajibkan untuk menjaga 5 perkara pokok dan memperhatikan sebab-sebab yang menjaga kelestarian dan keselamatannya, yaitu : agama, jiwa, kehormatan, akal dan harta. Dan Majelis telah memperoleh gambaran akan bahaya-bahaya yang sangat besar yang timbul akibat Jarîmah (perbuatan keji) pelampauan batas terhadap Hurumât (hak-hak suci) kaum muslimin pada jiwa, kehormatan dan harta mereka dan apa-apa yang disebabkan oleh aksi-aksi perusakan ini berupa hilangnya rasa keamanan umum dalam negara, timbulnya kekacauan dan kegoncangan dan membuat takut kaum muslimin pada dirinya maupun harta bendanya.
Allah 'Azza wa Jalla menjaga manusia; agama, badan, jiwa, kehormatan, akal dan harta bendanya dengan disyari'atkannya hudûd (hukum-hukum ganjaran) dan uqûbah (hukuman balasan) yang akan menciptakan keamanan secara umum dan khusus. Dan di antara yang menjelaskan hal tersebut adalah firman Allah Subhânahu wa Ta'âlâ, "Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa : barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain, atau bukan karena membuat kerusakan di muka bumi, maka seakan-akan dia telah membunuh manusia seluruhnya". (QS. Al-Mâ`idah : 32). Dan firman-Nya Subhânahu wa Ta'âlâ,
"Sesungguhnya pembalasan terhadap orang-orang yang memerangi Allah dan Rasul-Nya dan membuat kerusakan di muka bumi, hanyalah mereka dibunuh atau disalib, atau dipotong tangan dan kaki mereka dengan bertimbal balik (secara bersilangan), atau dibuang dari negeri (tempat kediamannya). Yang demikian itu (sebagai) suatu penghinaan untuk mereka di dunia, dan bagi mereka di akhirat siksaan yang besar". (QS. Al-Mâ`idah : 33).
Dan penerapan hal tersebut merupakan jaminan untuk meratakan (menyebarkan) rasa aman dan ketentraman dan mencegah orang yang akan menjerumuskan dirinya dalam perbuatan dosa dan melampaui batas tehadap kaum muslimin pada jiwa-jiwa dan harta benda mereka. Dan jumhûr (kebanyakan) ulama berpendapat bahwasanya hukum muhârabah (memerangi pembuat kerusakan) di kota-kota dan selainnya adalah sama, dengan dalil firman Allah Subhânahu wa Ta'âlâ,
"Dan berupaya membuat kerusakan di muka bumi". (QS. Al-Mâ`idah : 64)
Dan Allah Ta'âlâ berfirman, "Dan di antara manusia ada orang yang ucapannya tentang kehidupan dunia menarik hatimu, dan dipersaksikannya kepada Allah (atas kebenaran) isi hatinya, padahal ia adalah penantang yang paling keras. Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan membinasakan tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai perusakan". (QS. Al-Baqarah : 204-205). Dan (Allah) Ta'âlâ berfirman, "Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya".(QS. Al-A'râf : 56,85). Berkata Ibnu Katsir rahimahullahu Ta'âlâ, "(Allah) telah melarang membuat kerusakan di muka bumi dan apa-apa yang membahayakannya setelah diperbaikinya karena sesungguhnya apabila perkara-perkara berjalan di atas As-Sadâd (lurus dan baik) kemudian terjadi kerusakan setelah itu maka itu adalah sesuatu yang paling berbahaya atas para hamba maka (Allah) Ta'âlâ melarang hal tersebut". Dan berkata Al-Qurthuby, "(Allah) Subhânahu wa Ta'âlâ melarang setiap kerusakan sedikit maupun banyak setelah perbaikan yang sedikit maupun banyak maka hal ini (berlaku) secara umum menurut (pendapat) yang benar dari berbagai pendapat (yang ada)".
Berdasarkan penjelasan di atas dan karena apa yang telah lalu penjelasannya melampaui perbuatan-perbuatan para perusak, yang mereka itu memiliki target-target khusus, dimana mereka mengejar hasilnya berupa harta benda atau kehormatan, dan karena sasaran mereka (para pelaku teror itu,-pent.) adalah mengganggu keamanan dan merobohkan bangunan umat dan membongkar aqidahnya dan melencengkannya dari manhaj Rabbâny (manhaj yang haq), maka majelis dengan sepakat memutuskan (hal-hal) sebagai berikut :
Pertama: Siapa yang terbukti secara syar'i melakukan suatu perbuatan dari perbuatan-perbuatan terorisme dan membuat kerusakan di muka bumi yang menyebabkan gangguan keamanan dan menganiaya jiwa-jiwa dan harta benda baik milik khusus maupun yang milik umum seperti menghancurkan rumah-rumah, mesjid-mesjid, sekolah-sekolah atau rumah sakit, pabrik-pabrik, jembatan-jembatan, gudang-gudang senjata, penampungan-penampungan air, fasilitas-fasilitas umum untuk baitul mal seperti saluran-saluran/pipa-pipa minyak, dan menghancurkan pesawat atau membajaknya dan yang semacamnya, maka hukumannya adalah dibunuhberdasarkan kandungan ayat-ayat di atas bahwasanya perusakan di muka bumi yang seperti ini mengharuskan penumpahan darah si perusak. Dan karena bahaya dan kerusakan yang dilakukan oleh orang-orang yang melakukan perbuatan-perbuatan perusakan adalah lebih besar dari bahaya dan kerusakan pembegal jalanan yang melampaui batas kepada seseorang lalu membunuh dan merampas hartanya, maka Allah telah menetapkan hukumannya dalam apa yang tersebut dalam ayat Al-Harabah (QS. Al-Mâ`idah : 33 di atas,-pent.).
Kedua : Bahwasanya sebelum menjatuhkan hukuman sebagaimana point di atas (yaitu dibunuh-pent.), harus menyempurnakan Al-Ijrâ`ât (urusan, administrasi) pembuktian yang lazim di Pengadilan-pengadilan syari'at, Hai'ah At-Tamyîz dan Mahkamah Agung dalam rangka barâ`atun lidzdzimmah (pertanggungjawaban di hadapan Allah) dan kehati-hatian terhadap nyawa. Dan untuk menunjukkan bahwasanya negeri ini (Arab Saudi,-pent.) terikat dengan segala ketentuan syari'at untuk membuktikan kejahatan dan menetapkan hukumannya.
Ketiga : Majelis memandang perlunya memberitakan tentang hukuman ini melalui media massa.
Salam dan shalawat semoga senantiasa terlimpahkan kepada hamba dan Rasul-Nya, Nabi kita Muhammad dan kepada keluarga dan shahabatnya.Majelis Hai'ah Kibâr 'Ulama

Sabtu, 17 Desember 2011

Korupsi vs Nasionalisme Bangsa

ARTIKEL HUKUM PIDANA

Dikisahkan pada jaman Nabi Muhammad terdapat seorang pejabat penarik zakat di Distrik Bani Sulaim yang bernama Ibn al-Lutbiyyah. Pada prakteknya ia mengambil sedikit harta zakat yang dikumpulkannya yang ia klaim sebagai hadiah. Mendengar hal itu, Nabi memberi reaksi sebagaimana diriwayatkan oleh Abu Daud, bahwa orang yang telah diangkatnya sebagai pejabat maka jika ia menerima sesuatu yang di luar gajinya adalah tindakan korupsi. Blacks Law Dictionary memberikan pengertian gratifikasi sebagai a voluntarily given reward or recompense for a service or benefit yang dapat diartikan gratifikasi adalah sebuah pemberian yang diberikan atas diperolehnya suatu bantuan atau keuntungan. Pemidanaan Gratifikasi. Gratifikasi berbeda dengan hadian dan sedekah. Hadiah dan sedekah tidak terkait dengan kepentingan untuk memperoleh keputusan tertentu, tetapi motifnya lebih didasarkan pada keikhlasan semata. Gratifikasi pemberian untuk memperoleh keuntungan tertentu lewat keputusan yang dikeluarkan oleh penerima gratifikasi. Pemikiran inilah yang menjadi landasan pasal pemidanaan gratifikasi. Pasal pemidanaan gratifikasi, Pasal 12B ayat (1) UU No. 31/1999 yo UU No. 20/2001, yang berbunyi setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Dari rumusan pasal tersebut, berarti tidak semua gratifikasi menjadi suap. gratifikasi yang menjadi suap yang berakibat hukuman pidana (pemidanaan gratifikasi) (pasal 12B(2)). Pembuktian Tindak Pidana Gratifikasi. Dari rumusan pasal 12B ayat (1) UU No. 31/1999 yo UU No. 20/2001, unsur tindak pidana Gratifikasi atau suap ada dua, pertama, pemberian dan penerimaan gratifikasi (serah terima); kedua, berhubungan dengan jabatan dan berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Pada unsur kedua ini, muncul konstruksi yuridis turunan (unsur derivatif) unsur kedua dua hal, yaitu mengeluarkan putusan dari jabatannya yang bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya. Dan, putusan tersebut menguntungkan pihak pemberi gratifikasi. Ini berarti, dalam unsur kedua, ada putusan jabatan yang putusan tersebut bertentangan dengan kewajiban atau tugasnya (melawan hukum) dan ada keuntungan dari putusan tersebut pada pemberi gratifikasi. Unsur pertama dan unsur kedua, diikat oleh rumusan kataapabila berhubungan dengan. Ini menunjukan adanya hubungan sebab akibat (qondite sine quanon) antara unsur pertama dengan unsur kedua. Kata apabila menunjukan bahwa pembentuk undang-undang mengakui bahwa tidak semua gratifikasi berkaitan dengan jabatan (unsur kedua). Tanpa adanya hubungan sebab akibat dua unsur tindak pidana gratifikasi atau suap tidak bisa menyatu menjadi tindak pidana gratifikasi atau suap. Pembuktian adanya tindak pidana gratifikasi berarti menunjukan adanya dua unsur tersebut diatas dan menunjukan relasi sebab akibat antara dua unsur tersebut. Secara operasional, yang harus dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum; pertama, adanya serah terima gratifikasi, kedua, adanya putusan yang memberikan keuntungan pada penerima gratifikasi, ketiga, adanya sebab akibat dari dua hal tersebut. Sahkah Tangkap Tangan Gratifikasi ? Penangkapan pelaku gratifikasi secara hukum pidana terkait dengan kapan gratifikasi menjadi tindak pidana sehingga aparat hukum atau penyidik bisa melakukan tindakan hukum termasuk penangkapan pada saat menerima gratifikasi atau yang biasa disebut dengan istilah tangkap tangan. Kewenangan aparat melakukan tangkap tangan hanya pada perbuatan hukum yang masuk kualifikasi tindak pidana. Menurut Undang-Undang yang berlaku, sesungguhnya penerimaan gratifikasi tidak otomatis menjadi perbuatan yang terkualifisir sebagai tindak pidana. Hal ini bisa dilihat dari rumusan pasal 12 C (1) yang berbunyi; ketentuan sebagaimana dimaksud pasal 12B (1) tidak berlaku jika penerima gratifikasi melaporkan gratifikasi yang diterimanya kepada KPK. Penerima gratifikasi masih memiliki waktu 30 hari untuk melaporkan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) (Pasal 12C (2)). Pasal 12C ayat 1 dan ayat 2 menghapus ketentuan pemidanaan gratifikasi sebagaimana dalam pasal 12B ayat 1. Ini berarti, penerimaan gratifikasi belum otomatis menjadi tindak pidana karena undang-undang masih memberikan kesempatan untuk melaporkan kepada KPK. Lantas, KPK dalam waktu 30 hari sejak menerima laporan gratifikasi wajib menetapkan gratifikasi dapat menjadi milik negara. (pasal 12C(1)). Gratifikasi sebagai simbol. Berdasarkan kontruksi hukum diatas, sesungguhnya penangkapan tangan penerimaan gratifikasi tidak bisa dibenarkan karena bertentangan dengan pasal 12C (1). Namun, disisi lain, penangkapan gratifikasi sangat bermanfaat untuk mengungkapkan adanya kesepakatan perbuatan tindak pidana korupsi. Hal ini karena gratifikasi menjadi artefak atau simbol atau kesepakatan tersebut. Gratifikasi merupakan wajah di ujung permainan konspiratif tindak pidana korupsi.Tanpa ada tangkan tangan gratifikasi tidak mungkin atau sulit mengungkapkan adanya konspirasi tindak pidana korupsi. Oleh karena itu, seharusnya KPK jika berhasil menangkap tangan peristiwa gratifikasi, lantas jangan berkutat di gratifikasinya tapi harus menjadikan tangkap tangan gratifikasi sebagai cara menangkap tangan adanya perbuatan konspirasi koruptif. Jangan sampai penerima gratifikasi ditangkap diproses pidana, sementara yang berada dikonspirasi (awal permainan konspiratif) tidak tersentuh proses pidana. Bisa jadi yang tertangkap tangan hanyalah satu dua orang dari peserta konspirasi yang mana peserta lain lebih besar menikmati keuntungan materi yang diperoleh dari perbuatan konspirasi Oct 6, 2010
 Budaya hukum sangat erat hubungannya dengan kesadaran hukum dan diwujudkan dalam bentuk prilaku sebagai cermin kepatuhan hukum di dalam masyarakat. Di dalam budaya hukum itu dapat dilihat suatu tradisi prilaku masyarakat kesehariannya yang sejalan dan mencerminkan kehendak undang-undang atau rambu-rambu hukum yang telah ditetapkan berlaku bagi semua subyek hukum dalam hidup berbangsa dan bernegara. Di dalam budaya hukum masyarakat dapat pula dilihat apakah masyarakat kita dalam kesadaran hukumnya sungguh-sungguh telah menjunjung tinggi hukum sebagai suatu aturan main dalam hidup bersama dan sebagai dasar dalam menyelesaikan setiap masalah yang timbul dari resiko hidup bersama.

Namun kalau dilihat secara materiil, yang di dalam hukum pembuktian pidana selalu berpegang pada kebenaran yang senyatanya terjadi yang dalam hal ini disebut dengan kebenaran materiil, ternyata sungguh sulit membangun budaya hukum materiil di negeri ini, hal ini menunjukkan bahwa sesungguhnya kesadaran hukum masyarakat saja tidak cukup membangun budaya hukum di negeri ini, karena kesadaran hukum masyarakat masih bersifat abstrak, belum merupakan bentuk prilaku yang nyata, sekalipun masyarakat kita baik secara instinktif, maupun secara rasional sebenarnya sadar akan perlunya kepatuhan dan penghormatan terhadap hukum yang berlaku.

Pakar Sosiologi Hukum Prof.DR. Satjipto Raharjo, dalam bukunya “Sisi-Sisi Lain Dari Hukum di Indonesia, Penerbit Kompas, 2003”, secara implisit menyimpulkan bahwa, adanya perasaan tidak bersalah, sekalipun putusan judex factie ( PN dan PT) telah menyatakan yang bersangkutan bersalah, merupakan preseden buruk bagi tegaknya budaya hukum di negeri ini”. Pandangan kritis pakar sosiologi hukum itu patut menjadi renungan kita bersama, sebab di dalamnya terkandung pesan yang sangat dalam mengenai perlunya kita mentradisikan budaya hukum di negeri ini, karena tanpa tertanam budaya hukum mustahil dapat ditegakkan hukum yang berkeadilan.

Oleh karenanya sekalipun masyarakat kita sadar terhadap hukum yang berlaku di negaranya, belum tentu masyarakat kita tersebut patuh pada hukum tersebut. Kepatuhan terhadap hukum adalah merupakan hal yang substansial dalam membangun budaya hukum di negeri ini, dan apakah sebenarnya kepatuhan hukum itu ?.

Kepatuhan hukum adalah kesadaran kemanfaatan hukum yang melahirkan bentuk “kesetiaan” masyarakat terhadap nilai-nilai hukum yang diberlakukan dalam hidup bersama yang diwujudkan dalam bentuk prilaku yang senyatanya patuh terhadap nilai-nilai hukum itu sendiri yang dapat dilihat dan dirasakan oleh sesama anggota masyarakat.

Perlu Penulis tegaskan lagi, bahwa kepatuhan hukum masyarakat pada hakikatnya adalah kesadaran dan kesetiaan masyarakat terhadap hukum yang berlaku sebagai aturan main (rule of the game) sebagai konsekuensi hidup bersama, dimana kesetiaan tersebut diwujudkan dalam bentuk prilaku yang senyatanya patuh pada hukum ( antara das sein dengan das sollen dalam fakta adalah sama) .

Secara a contra-rio jika di dalam masyarakat banyak kita dapatkan bahwa masyarakat tidak patuh pada hukum hal ini dikarenakan individu dan masyarakat dihadapkan pada dua tuntutan kesetiaan dimana antara tuntutan kesetiaan yang satu bertentangan dengan tuntutan kesetiaan lainnya. Misalnya masyarakat tersebut dihadapkan pada pilihan setia terhadap hukum atau setia terhadap “kepentingan pribadinya”, setia dan patuh pada atasan yang memerintahkan berperang dan membunuh atau setia kepada hati nuraninya yang mengatakan bahwa membunuh itu tidak baik, atau yang lebih umum seperti yang sering terjadi masyarakat tidak patuh pada aturan lalu-lintas, perbuatan korupsi, perbuatan anarkisme dan main hakim sendiri (eigen rechting) karena mereka lebih mendahulukan setia kepada kepentingan pribadinya atau kelompoknya, dll.

Apalagi masyarakat sekarang ini menjadi lebih berani tidak patuh pada hukum demi kepentingan pribadi karena hukum dalam penegakannya mereka nilai tidak mempunyai kewibawaan lagi, dimana penegak hukum karena kepentingan pribadinya pula tidak lagi menjadi penegak hukum yang baik, penegakan hukum dirasakan diskriminatif . Sehingga dalam hal ini, kesetiaan terhadap kepentingan pribadi menjadi pangkal tolak mengapa manusia atau masyarakat kita tidak patuh pada hukum.

Jika faktor kesetiaan tidak dapat diandalkan lagi untuk menjadikan masyarakat patuh pada hukum, maka negara atau pemerintah mau tidak mau harus membangun dan menjadikan rasa takut masyarakat sebagai faktor yang membuat masyarakat patuh pada hukum. Wibawa hukum akan dapat dirasakan jika kita punya komitmen kuat, konsisten dan kontiniu menegakkan hukum tanpa diskriminatif, siapapun harus tunduk kepada hukum, penegakan hukum tidak boleh memihak kepada siapapun dan dengan alasan apapun, kecuali kepada kebenaran dan keadilan itu sendiri. Disitulah letak wibawa hukum dan keadilan hukum.

Namun jika hukum diberlakukan secara diskriminatif, penuh rekayasa politis, tidak dapat dipercaya lagi sebagai sarana memperjuangkan hak dan keadilan, maka jangan disalahkan jika masyarakat akan memperjuangkan haknya melalui jalur kekerasan atau hukum rimba atau kekerasan fisik (eigen rechting). Dalam banyak fakta sekarang ini Indonesia telah mengalami krisis kepatuhan hukum karena hukum telah kehilangan substansi tujuannya, dan buadaya prilaku masyarakat telah memandang hukum ditegakkan secara diskriminatif dan memihak kepada kepentingan tertentu bagi orang-orang berduit, dan berkuasa. Quo Vadis Penegakan Hukum Indonesia…?? (sept-2011)

Minggu, 11 Desember 2011

Pemilihan Ketua BEM Fakultas Hukum Periode 2011/2012

           Dengan ucapan Alhamdulillah, Atas Rahmat ALLAH SWT akhirnya pemilihan Ketua BEM Fakultas Hukum Universitas Andi Djemma periode 2011-2012 telah selesai dilaksanakan dengan terpilihnya saudara ariyanto sebagai ketua BEM fakultas hukum unanda dan wakil Ketua Rezki diantara 3 kandidat calon Ketua BEM. semoga kedepan,Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andi Djemma merupakan wahana perwakilan mahasiswa dan berguna untuk menginduki seluruh organisasi mahasiswa di tingkat Fakultas Hukum yg berfungsi seperti Lembaga Eksekutif, yg anggotanya terdiri dari wakil-wakil mahasiswa secara keseluruhan yang dipilih oleh mahasiswa melalui pemilihan umum di lingkungan Fakultas Hukum yang dilakukan setiap satu tahun sekali. Lama masa kerja Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andi Djemma adalah satu tahun.

Keberadaan Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andi Djemma ini  tidak terlepas dari proses pendidikan dan pengajaran yang telah berkembang dalam kampus. Mahasiswa sebagai masyarakat kampus merasa perlu untuk membentuk suatu organisasi yang menaungi mereka dan menyalurkan aspirasi mereka di tingkat fakultas hingga tingkat universitas. Sebagaimana organisasi kemahasiswaan pada umumnya,Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andi Djemma juga pernah mengalami masa pasang surut.Dan semoga dengan terpilihnya saudara ariyanto sebagai Ketua BEM periode 2011-2012,mampu membawa perubahan yg signifikan didalam kebangkitan kembali organisasi ini.Ketika keraguan akan eksistensi organisasi ini dalam dinamika kampus semakin mencuat bahkan telah menjadi bahan pembicaraan fakultas lain yg ada dalam lingkup Universitas Andi Djemma,Dekan selaku pimpinan tertinggi di Fakultas Hukum menunjukkan dukungannya yang besar terhadap organisasi ini dengan mendirikan Sekretariat Fakultas Hukum,dan akhir kata kami ucapkan terima kasih kepada semua rekan mahasiswa fakultas Hukum selaku pihak penyelenggara pemilihan Ketua BEM fakultas Hukum Universitas Andi Djemma atas kerja kerasnya selama ini sehingga pemilihan Ketua BEM fakultas Hukum Unanda telah berjalan dengan lancar dan telah melahirkan contoh pesta demokrasi yg adil,jujur dan damai........Amin....

Senin, 14 November 2011

Pro-Kontra Putusan Bebas Pengadilan

Oleh : Dr. Binsar Gultom, SH, SE, MH.
Putusan (vonis) ‘bebas’ atau ‘lepas’ terhadap terdakwa korupsi yang dilakukan oleh berbagai Pengadilan TIPIKOR di Indonesia, seperti Pengadilan TIPIKOR Bandung dan Pengadilan Tipikor Samarinda dewasa ini mestinya tak perlu diributkan oleh berbagai pihak sepanjang proses perkaranya di Pengadilan sesuai hukum acara pidana, sebab perkara itu belum mempunyai kekuatan hukum tetap (in cracht van gewijsde), terkecuali ditemukan perbuatan tercela dalam proses penanganan kasus tersebut.
Menurut penulis, selama ketentuan Pasal 191 ayat (1) dan (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengenai putusan ‘bebas’ (vrijspraak) dan ‘lepas dari segala tuntutan hukum’ (onstlag van allerechtsvervolging) masih diatur didalam KUHAP, maka putusan bebas dan lepas tersebut akan tetap terjadi di Indonesia, karena memang fungsi Pengadilan untuk mencari dan menemukan kebenaran hukum dan keadilan, terkecuali kedua ketentuan itu ‘dihapus’, lain soal.

Ini berarti, bagi hakim sesuai independensinya menurut Konstitusi, tidak ada larangan memutus perkara dengan menghukum bersalah, membebaskan atau melepaskan terdakwa. Alasannya, karena keadilan itu bukan hanya hak masyarakat atau hak pengamat. Tetapi keadilan juga hak bagi mereka yang diadili dan keluarga mereka. Karena itu, siapa pun orang yang sedang diadili oleh hakim ada kemungkinan terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman (vide Pasal 193 ayat 1 KUHAP). Ada pula kemungkinan mereka tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan Jaksa, sehingga harus ‘dibebaskan’ (vide Pasal 191 ayat 1 KUHAP) atau terdakwa terbukti melakukan perbuatan, tetapi bukan merupakan tindak pidana, sehingga dia harus ‘dilepas’ dari segala tuntutan hukum (vide Pasal 191 ayat 2 KUHAP). Ketiga alternatif putusan tersebut sama-sama urgensinya didalam penegakan hukum dan keadilan.

Yang menjadi persoalan adalah sejauhmana kualitas dari pada putusan itu? Mestinya rumusan pertimbangan hakim, harus ‘murni’ berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan dan didukung keyakinan hakim bahwa terdakwalah pelakunya atau tidak (vide Pasal 183 KUHAP), tanpa ada unsur/pengaruh dari pihak lain termasuk perbuatan tercela. Jika terdakwa terbukti bersalah, tetapi terungkap hal-hal yang meringankan perbuatan terdakwa, misal kerugian negara sudah dikembalikan kepada negara, sekalipun UU menentukan batas ancaman minimum, hakim harus berani menerobos ancaman minimum tersebut dengan pertimbangan hukum yang rasional. Karena hakim bukan hanya corong atau mulut undang-undang.

Hakim yang mampu menyusun dan membuat pertimbangan hukum dari rangkaian keterangan saksi, terdakwa dan alat-alat bukti yang terungkap dipersidangan adalah merupakan pengalaman dari sosok hakim yang sudah digeluti bertahun-tahun lamanya, bukan dilakukan oleh hakim yang baru kemarin sore secara adhoc, terkecuali hakim adhoc tersebut sungguh-sungguh memiliki spesialisasi keilmuan dan pengalaman mumpuni dibidang teori akademis akan menjadi kombinasi yang sempurna dengan pengalaman hakim karier dalam merumuskan suatu putusan, sehingga terhindar celah kekurangan suatu putusan.

Nah, jika dari hasil proses persidangan, putusan hakim berkesimpulan menyatakan seorang terdakwa harus dibebaskan atau dilepas dari segala tuntutan hukum, kenapa harus menghukum terdakwa yang tidak terbukti bersalah. Jika hakim menghukum terdakwa yang tidak terbukti bersalah, justeru hakim sudah melakukan kesalahan besar selaku penegak hukum dan keadilan.

Bagi penulis ada prinsip hukum yang mengatakan: "lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah dari pada menghukum satu orang yang tidak terbukti bersalah". Membuktikan bahwa fungsi pengadilan adalah untuk mencari kebenaran dan keadilan hukum lewat putusannya. Justru lewat penemuan fakta itulah hakim telah bersifat progressif menciptakan suatu hukum lewat putusannya yang wajib dihormati dan dilaksanakan oleh semua pihak, bukan untuk dicibiri, dicaci-maki seolah putusan bebas atau lepas itu diharamkan oleh Undang-undang.

Kita harus bangga atas penemuan fakta hukum yang membebaskan atau melepaskan terdakwa demi tegaknya hukum dan keadilan, sekalipun hakim yang bersangkutan harus diperiksa oleh Badan Pengawas Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk membuktikan ada tidaknya pelanggaran hukum atau kode etik selama proses sidang berlangsung.

Ketika penulis menjadi Hakim di Pengadilan Negeri Medan, pernah diperiksa oleh Pengadilan Tinggi Sumatera Utara Medan atas perintah MA, karena majelis kami "melepaskan" terdakwa Abu Yassar pelaku Bom Gereja tahun 2004 di Medan. Namun lewat upaya hukum kasasi di MA, justru terdakwa tersebut ‘dibebaskan’ oleh MA. Rasa syukur kami kepada Tuhan sangat tak terhingga, karena putusan hakim tingkat pertama lebih disempurnakan MA. Bukan seperti sekarang, putusan belum in cracht sudah dibahas dan dipersoalkan banyak pihak, seolah merekalah yang layak menjadi hakim.

Pesan penulis, jika hakim telah sungguh-sungguh memberikan putusan itu berdasarkan kejujuran hati tanpa pengaruh dari pihak manapun, hakim tak perlu ragu dan harus berani menyatakan terdakwa bersalah atau bebas/lepas dari segala tuntutan hukum. Masalah hakim diperiksa atau dipanggil atasan (Mahkamah Aagung atau Komisi Yudisial) terkait putusan tersebut, itu sudah merupakan resiko jabatan. Karena ada prinsip: "berani berbuat, berani bertanggung jawab".

Hemat penulis, jangan biarkan lembaga khusus Pengadilan Tipikor dijadikan sebagai lembaga penghukum (algojo). Jika hal itu dibiarkan akan merusak sendi-sendi sistim hukum Nasional di Indonesia. Jika fungsi Pengadilan Tipikor terpaksa bergeser kepada lembaga penghukum, ini yang dinamakan "Peradilan Sesat". Karena telah mengganti Pengadilan itu menjadi "Algojo Koruptor".

Menurut penulis, Polisi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jaksa bisa saja menangkap bahkan menahan seorang tersangka yang diduga melakukan tindak pidana. Namun tempat untuk mencari benar-tidaknya tindakan/perbuatan tersangka sesungguhnya hanya di Pengadilan. Bahkan selama kasus tersebut belum diputus oleh Pengadilan dan belum mempunyai kekuatan hukum tetap, tersangka atau terdakwa belum dapat dikatakan telah bersalah. Tetapi harus tetap berpedoman kepada adagium "praduga tak bersalah" (presumtion of innocent). Asas ini merupakan salah satu hak asasi dari pada tersangka/terdakwa yang mutlak diperhatikan semua pihak.

Kasasi

Dari berbagai peristiwa dan pengalaman diatas, hemat Penulis sesuai sistim hukum dan perkembangan hukum di masyarakat seharusnya setiap putusan bebas atau lepas ditingkat bawah (Pengadilan tingkat pertama dan banding) wajib hukumnya di kasasi ke MA sebagaimana layaknya putusan ‘bersalah’.

Selama ini, menurut UU hanya ‘putusan bersalah’ yang mendapat upaya hukum banding dan kasasi, sedangkan putusan ‘bebas/lepas’ dilarang kasasi oleh UU (vide Pasal 67 dan Pasal 244 KUHAP) tanpa ada penjelasan dalam KUHAP tersebut. Pembuat UU disini tidak adil. Itu sebabnya menurut Keputusan Menteri Kehakiman RI tanggal 10 Desember 1983, Nomor: M.14-PW.07.03 Tahun 1983 menyebutkan, karena alasan situasi dan kondisi demi hukum, keadilan dan kebenaran terhadap ‘putusan bebas’ dapat dimintakan kasasi. Namun sangat disayangkan dalam Keputusan Menteri Kehakiman tersebut tidak diatur mengenai putusan lepas dapat dikasasi atau tidak. Tetapi dalam praktik putusan lepas ini-pun tetap saja dikasasi oleh Jaksa Penuntut Umum. Oleh karenanya, demi penegakan hukum dan keadilan diera reformasi sekarang, MA selaku puncak lembaga tertinggi Yudikatif wajib menerima kasasi Jaksa atas putusan bebas atau lepas dari tingkat pertama atau banding. Jika ada masyarakat tertentu sengaja mempermasalahkan ketentuan Pasal 67 dan Pasal 244 KUHAP itu wajar sesuai dinamika masyarakat yang berkembang.

Agar posisi Keputusan Menteri ini tidak menjadi lemah, karena kedudukannya lebih rendah dari UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, mestinya dalam revisi KUHAP mendatang masalah dapat tidaknya putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum termasuk masalah pembatasan kasasi harus diatur secara tegas didalam KUHAP tersebut. Dan sambil menunggu penyempurnaan KUHAP tersebut, untuk mengisi kekosongan hukum, MA dapat mengeluarkan Peraturan MA (PERMA) terkait masalah putusan bebas/lepas tersebut.

Karena akhirnya semua perkara harus bermuara kepada MA sebagai puncak Kekuasaan Kehakiman, seyogiyanya para Hakim Agung di MA betul-betul menjadi benteng terakhir untuk mencari keadilan masyarakat, termasuk bagi hakim dibawahnya yang putusannya dianggap belum sempurna, tanpa harus pihak luar kekuasaan kehakiman yang mengoreksi putusan hakim dibawah MA.***

Melawan Seribu Hakim Nakal

Jakarta

- Puluhan koruptor dibebaskan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) di daerah. Tidak pelak tudingan miring otomatis mengarah pada para hakim. Mengapa para hakim seperti berlomba membebaskan para koruptor?

Komisi Yudisial (KY) mencatat setidaknya ada 1.000 hakim diduga sebagai hakim nakal. Adakah dari hakim nakal itu merupakan hakim Tipikor? KY belum mau mengungkapnya. Saat ini KY sedang melakukan investigasi terhadap hakim-hakim tersebut.

"Kami akan melakukan investigasi soal adanya dugaan hakim nakal. Kami akan mengeceknya ke daerah-daerah," terang Komisioner KY Suparman Marzuki kepada detik+.

Dari 1.000 hakim yang diduga nakal, sebanyak 437 hakim sudah diperiksa KY, sejak Januari-September 2011. Dari 437 hakim itu, 131 hakim direkomendasikan untuk diberi sanksi oleh Mahkamah Agung (MA). 18 Hakim di antaranya direkomendasi KY untuk diberhentikan tetap.

“Pelanggaran yang paling dominan yang dilakukan hakim-hakim itu umunya pelanggaran profesionalisme,” kata Sekjen KY Muzayyin Mahbub.

Hakim yang masuk dalam daftar nakal, antara lain melakukan telepon saat sidang, tidak serius dalam mendengarkan saksi dari salah satu pihak (dengan duduk malas-malas), judi, pasang harga perputusan baik secara pasif/ atau pun ada juga yang pasang tarif, ada yang tertangkap sabu dan lain-lain.

***

Menjadi hakim terutama hakim Tipikor, memang punya banyak risiko dan godaan. Kasus korupsi selain khas, juga melibatkan orang-orang yang tidak sembarangan.

Risiko semakin besar bagi hakim Tipikor di daerah, sebab kasus yang ditangani umumnya merupakan penguasa lokal, baik kepala daerah atau orang yang berpengaruh di daerah tersebut.

"Tugas hakim Tipikor memang sangat rentan. Sebab yang dihadapi penguasa lokal. Sementara pengawasan di daerah sangat lemah. Jadi ada 2 kemungkinan yang akan dihadapi, bisa berupa ancaman atau iming-iming suap," jelas akivis ICW Donal Fariz.

Masalahnya semakin bertambah ketika MA tidak memperhatikan kesejahteraan para hakim ad hoc tersebut. Umumnya hakim ad hoc ini penghasilannya di bawah hakim pengadilan umum. Malah ada hakim Tipikor di suatu daerah yang belum dibayar sampai 3 bulan.

Kondisi ini tentu saja mengkhawatirkan. Bukan tidak mungkin sang hakim Tipikor bisa terbujuk oleh iming-iming dari orang-orang yang berperkara. Apalagi yang terlibat korupsi umumnya adalah pejabat dan orang-orang berduit.

"Ini sangat rentan. Apalagi hakim Tipikor di daerah menangani kasus yang melibatkan penguasa lokal, yang bisa menggelotorkan uang atau massa untuk mempengaruhi hakim," katanya.

ICW menduga banyak hakim Tipikor bermain perkara terutama perkara yang berujung pada vonis bebas. Tapi sayangnya, ICW tidak bisa mengakses hasil putusan itu ke MA dengan berbagai alasan.

Soal rentanya hakim Tipikor dari bujuk rayu koruptor juga diakui Teguh Haryanto, mantan hakim di PN Jakarta Pusat. Teguh yang menjadi hakim Tipikor sejak 2006 lalu, mengatakan, kondisi yang dialami hakim Tipikor di daerah tentu berbeda dengan hakim Tipikor yang bertugas di Jakarta. Kalau di Jakarta pengawasan dari MA atau masyarakat sangat intens. Sementara di daerah tentu saja tidak seperti di Jakarta.

Untuk mengantisipasi terbujuknya hakim Tipikor daerah, MA diharapkan mau turun gunung dan sering mengunjungi daerah-daerah. MA harus rajin mengawasi dan memberi motivasi kepada hakim-hakin Tipikor supaya tidak kehilangan integritasnya.

"MA harus mengambil hikmah dari masalah yang saat ini ramai dibicarakan (pengadilan Tipikor daerah). MA harus turun gunung," harap Teguh yang baru seminggu bertugas sebagai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Tanjung Karang, Lampung.

Selain pengawasan, MA juga diminta supaya memperketat proses perekrutan hakim Tipikor. Jangan sampai kasus seperti Ramlan Comel, yang sempat menjadi terdakwa korupsi, kemudian dipilih jadi hakim Tipikor.

"Terpilihnya mantan terdakwa sebagai hakim Tipikor memang menjadi bukti lemahnya rekrutmen hakim Tipikor yang dilakukan MA. Ini jangan sampai terulang lagi," tutur Teguh.

Meski demikian, masyarakat diharapkan tidak lantas men-generalisasi semua hakim Tipikor bermasalah. Menurut Teguh, masih sangat banyak hakim Tipikor yang punya integritas. Lagi pula untuk memastikan apakah maraknya vonis bebas terdakwa korupsi di pengadilan Tipikor karena peran majelis hakim atau bukan, perlu penelitian yang mendalam.

Vonis bebas koruptor, bisa disebabkan banyak faktor. Misalnya tuntutan yang lemah atau barang bukti yang diajukan tidak mumpuni untuk mengaitkan terdakwa dengan kasus korupsi yang menjeratnya.

"Jadi banyak faktor yang menyebabkan terdakwa kasus korupsi bisa bebas. Tidak sepenuhnya ditimpakan kepada majelis hakim yang menangani perkara," ujar Teguh.

KPK Gunakan Pasal Pencucian Uang untuk Kasus Nazaruddin

JAKARTA--MICOM: Komisi Pemberantasan Korupsi akan menggunakan pasal pencucian uang di dalam kasus-kasus yang melibatkan mantan bendahara umum Partai Demokrat Muhammad Nazaruddin.

Wakil Ketua KPK Mochammad Jasin membantah anggapan lembaga pemburu koruptor itu lamban di dalam menggunakan pasal-pasal dalam undang-undang tindak pidana pencucian uang (TPPU) untuk kasus-kasus Nazaruddin.

"Bukan tidak ada, melainkan kami akan menyusun draf," tutur Jasin saat ditemui di kantor KPK, Jakarta, Senin (14/11) Menurut dia, KPK telah memperjuangkan ke Dewan Perwakilan Rakyat supaya lembaga pemburu koruptor itu memperoleh wewenang penggunaan pasal pencucian uang.

"Itu perjuangan kita. Kita juga ingin menggunakan pasal pencucian uang itu. Sehingga, kita bisa menindak pencucian yang asal uangnya berasal dari pidana korupsi," sambung dia.

Menurut Jasin, KPK mesti menelaah lebih jauh adanya pencucian uang di dalam kasus-kasus Nazaruddin di luar kasus wisma atlet. Selain pelaku, lembaga antisuap itu juga harus menelisik pola transfer serta bentuk transfer dari aliran dan tersebut. Menurut Jasin, sesuai undang-undang KPK tidak harus mengungkap hasil telaah tersebut.

"Itu kewenangan yang didasarkan undang-undang TPPU 8/2010," tukas Jasin. Sebelumnya, KPK tidak menggunakan pasal tindak pidana pencucian uang di dalam berkas penuntutan tersangka kasus proyek wisma atlet SEA Games XXVI, Palembang, Muhammad Nazaruddin. Pakar hukum pidana Universitas Trisakti Yenti Garnasih menuding KPK memilah-milah penindakan terhadap pihak yang terlibat dalam kasus tersebut.

"Ini bisa jadi artinya ada tekanan politik, KPK seperti memilah-milah dalam menindak pihak yang terlibat, dari kemarin periksa banyak orang kesannnya seperti pencitraan saja," ujar Yenti kepada wartawan, kemarin.

Menurut Yenti, KPK salah langkah dengan tidak menggunakan pasal pencucian uang dalam pelimpahan berkas Nazaruddin untuk segera disidangkan. Ia berpendapat penggunaan pasal pencucian uang dapat mempermudah KPK melacak aliran dana wisma atlet sekaligus mengembalikan aset negara alias asset recovery.

Yenti menambahkan, prinsip dari tindak pidana pencucian uang adalah menjerat siapa pun yang menikmati uang hasil kejahatan. Yenti merujuk pada UU No 8/2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang mengatur kewenangan KPK untuk menindak kasus pencucian uang.

Ditambahkan, seharusnya KPK bisa menggunakan pasal korupsi dan pasal pencucian uang secara bersama-sama untuk dikenakan kepada Nazaruddin. Dalam konteks itu, Yenti pun menilai alasan KPK yang baru akan menggunakan pasal pencucian uang pada pengembangan kasus itu mengada-ada. (eric)

Kamis, 07 Juli 2011

Tanpa Barang Bukti disidang bisa di Hukum

Pelaku pidana dihukum walaupun tanpa barang bukti.

Apabila kita mencermati ketentuan yang tersurat dalam Pasal 53 ayat (2) huruf b Undang Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang PSIKOTROPIKA dimana pemusnahan psikotropika khusus Golongan I dalam hal berhubungan dengan tindak pidana wajib dilaksanakan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dilakukan penyitaan. Lalu sejauh mana pelaksanaan dilapangan selama ini terhadap ketentuan Pasal 53 ayat (2) huruf b tersebut oleh penegak hukum??? Kalau benar-benar dilaksanakan sesuai ketentuan lalu bagaimana dengan kepentingan pembuktian di persidangan??dan bagaimana pula sanksi atau akibat hukumnya bila ketentuan tersebut tidak dilaksanakan sebagaimana perintah undang-undang???
Perintah undang-undang yang mewajibkan Penyidik untuk memusnahkan barang bukti sitaan berupa psikotropika Golongan I paling lambat dalam waktu 7 hari memang cukup beralasan, karena dikwatirkan apabila tidak segera dimusnahkan akan menimbulkan penyalahgunaan barang sitaan tersebut yang akhirnya dapat merugikan kehidupan pribadi, keluarga, bangsa sehingga pada gilirannya dapat mengancam ketahanan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Pemusnahan tersebut efektif dan efisien jika asumsi tangkapannya/penyitaannya dalam jumlah yang besar, namun sebaliknya jika penyidik hanya 1 atau 2 butir yang berhasil disita dari pelaku tindak pidana dengan asumsi 5 hari sekali menyita seperti yang terjadi didaerah-daerah maka saya rasa tidak akan efektif dan tidak efisien baik dari sisi waktu, tenaga, dan beaya, oleh karena bukannya setiap pemusnahan barang bukti psikotropika harus dihadiri oleh pejabat terkait yang berwenang??????????

Disamping itu disisi lain pemusnahan barang bukti dalam waktu 7 hari setelah penyitaan tersebut akan menyulitkan aparat penegak hukum khususnya Jaksa sebagai Penuntut Umum yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan pelaku tindak pidana.
Barang bukti sangat besar maknanya dipersidangan, oleh karena itu sedapat mungkin bisa ditunjukkan didepan persidangan baik kepada saksi-saksi dan atau terdakwa sehingga hal tersebut dapat membentuk suatu keyakinan Hakim yang akan memutus perkara yang diperiksanya.

Yach pengamatan selama ini dilapangan yang terjadi bahwa belum sepenuhnya aparat penegak hukum melaksanakan ketentuan Pasal 53 ayat (2) huruf b tersebut.Walaupun demikian undang-undang tidak ada mengatur sanksi bila ketentuan tersebut dilanggarnya atau tidak dilaksanakannya. Dan kalau benar-benar dijalankan perintah undang-undang tersebut maka trend kedepan akan banyak pelaku tindak pidana yang dituntut oleh Jaksa dan dijatuhi hukuman oleh Hakim walaupun adanya barang bukti psikotropika golongan I.