Senin, 14 November 2011

Pro-Kontra Putusan Bebas Pengadilan

Oleh : Dr. Binsar Gultom, SH, SE, MH.
Putusan (vonis) ‘bebas’ atau ‘lepas’ terhadap terdakwa korupsi yang dilakukan oleh berbagai Pengadilan TIPIKOR di Indonesia, seperti Pengadilan TIPIKOR Bandung dan Pengadilan Tipikor Samarinda dewasa ini mestinya tak perlu diributkan oleh berbagai pihak sepanjang proses perkaranya di Pengadilan sesuai hukum acara pidana, sebab perkara itu belum mempunyai kekuatan hukum tetap (in cracht van gewijsde), terkecuali ditemukan perbuatan tercela dalam proses penanganan kasus tersebut.
Menurut penulis, selama ketentuan Pasal 191 ayat (1) dan (2) Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengenai putusan ‘bebas’ (vrijspraak) dan ‘lepas dari segala tuntutan hukum’ (onstlag van allerechtsvervolging) masih diatur didalam KUHAP, maka putusan bebas dan lepas tersebut akan tetap terjadi di Indonesia, karena memang fungsi Pengadilan untuk mencari dan menemukan kebenaran hukum dan keadilan, terkecuali kedua ketentuan itu ‘dihapus’, lain soal.

Ini berarti, bagi hakim sesuai independensinya menurut Konstitusi, tidak ada larangan memutus perkara dengan menghukum bersalah, membebaskan atau melepaskan terdakwa. Alasannya, karena keadilan itu bukan hanya hak masyarakat atau hak pengamat. Tetapi keadilan juga hak bagi mereka yang diadili dan keluarga mereka. Karena itu, siapa pun orang yang sedang diadili oleh hakim ada kemungkinan terbukti bersalah dan dijatuhi hukuman (vide Pasal 193 ayat 1 KUHAP). Ada pula kemungkinan mereka tidak terbukti melakukan tindak pidana sebagaimana didakwakan Jaksa, sehingga harus ‘dibebaskan’ (vide Pasal 191 ayat 1 KUHAP) atau terdakwa terbukti melakukan perbuatan, tetapi bukan merupakan tindak pidana, sehingga dia harus ‘dilepas’ dari segala tuntutan hukum (vide Pasal 191 ayat 2 KUHAP). Ketiga alternatif putusan tersebut sama-sama urgensinya didalam penegakan hukum dan keadilan.

Yang menjadi persoalan adalah sejauhmana kualitas dari pada putusan itu? Mestinya rumusan pertimbangan hakim, harus ‘murni’ berdasarkan fakta hukum yang terungkap di persidangan dan didukung keyakinan hakim bahwa terdakwalah pelakunya atau tidak (vide Pasal 183 KUHAP), tanpa ada unsur/pengaruh dari pihak lain termasuk perbuatan tercela. Jika terdakwa terbukti bersalah, tetapi terungkap hal-hal yang meringankan perbuatan terdakwa, misal kerugian negara sudah dikembalikan kepada negara, sekalipun UU menentukan batas ancaman minimum, hakim harus berani menerobos ancaman minimum tersebut dengan pertimbangan hukum yang rasional. Karena hakim bukan hanya corong atau mulut undang-undang.

Hakim yang mampu menyusun dan membuat pertimbangan hukum dari rangkaian keterangan saksi, terdakwa dan alat-alat bukti yang terungkap dipersidangan adalah merupakan pengalaman dari sosok hakim yang sudah digeluti bertahun-tahun lamanya, bukan dilakukan oleh hakim yang baru kemarin sore secara adhoc, terkecuali hakim adhoc tersebut sungguh-sungguh memiliki spesialisasi keilmuan dan pengalaman mumpuni dibidang teori akademis akan menjadi kombinasi yang sempurna dengan pengalaman hakim karier dalam merumuskan suatu putusan, sehingga terhindar celah kekurangan suatu putusan.

Nah, jika dari hasil proses persidangan, putusan hakim berkesimpulan menyatakan seorang terdakwa harus dibebaskan atau dilepas dari segala tuntutan hukum, kenapa harus menghukum terdakwa yang tidak terbukti bersalah. Jika hakim menghukum terdakwa yang tidak terbukti bersalah, justeru hakim sudah melakukan kesalahan besar selaku penegak hukum dan keadilan.

Bagi penulis ada prinsip hukum yang mengatakan: "lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah dari pada menghukum satu orang yang tidak terbukti bersalah". Membuktikan bahwa fungsi pengadilan adalah untuk mencari kebenaran dan keadilan hukum lewat putusannya. Justru lewat penemuan fakta itulah hakim telah bersifat progressif menciptakan suatu hukum lewat putusannya yang wajib dihormati dan dilaksanakan oleh semua pihak, bukan untuk dicibiri, dicaci-maki seolah putusan bebas atau lepas itu diharamkan oleh Undang-undang.

Kita harus bangga atas penemuan fakta hukum yang membebaskan atau melepaskan terdakwa demi tegaknya hukum dan keadilan, sekalipun hakim yang bersangkutan harus diperiksa oleh Badan Pengawas Mahkamah Agung dan Komisi Yudisial untuk membuktikan ada tidaknya pelanggaran hukum atau kode etik selama proses sidang berlangsung.

Ketika penulis menjadi Hakim di Pengadilan Negeri Medan, pernah diperiksa oleh Pengadilan Tinggi Sumatera Utara Medan atas perintah MA, karena majelis kami "melepaskan" terdakwa Abu Yassar pelaku Bom Gereja tahun 2004 di Medan. Namun lewat upaya hukum kasasi di MA, justru terdakwa tersebut ‘dibebaskan’ oleh MA. Rasa syukur kami kepada Tuhan sangat tak terhingga, karena putusan hakim tingkat pertama lebih disempurnakan MA. Bukan seperti sekarang, putusan belum in cracht sudah dibahas dan dipersoalkan banyak pihak, seolah merekalah yang layak menjadi hakim.

Pesan penulis, jika hakim telah sungguh-sungguh memberikan putusan itu berdasarkan kejujuran hati tanpa pengaruh dari pihak manapun, hakim tak perlu ragu dan harus berani menyatakan terdakwa bersalah atau bebas/lepas dari segala tuntutan hukum. Masalah hakim diperiksa atau dipanggil atasan (Mahkamah Aagung atau Komisi Yudisial) terkait putusan tersebut, itu sudah merupakan resiko jabatan. Karena ada prinsip: "berani berbuat, berani bertanggung jawab".

Hemat penulis, jangan biarkan lembaga khusus Pengadilan Tipikor dijadikan sebagai lembaga penghukum (algojo). Jika hal itu dibiarkan akan merusak sendi-sendi sistim hukum Nasional di Indonesia. Jika fungsi Pengadilan Tipikor terpaksa bergeser kepada lembaga penghukum, ini yang dinamakan "Peradilan Sesat". Karena telah mengganti Pengadilan itu menjadi "Algojo Koruptor".

Menurut penulis, Polisi, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Jaksa bisa saja menangkap bahkan menahan seorang tersangka yang diduga melakukan tindak pidana. Namun tempat untuk mencari benar-tidaknya tindakan/perbuatan tersangka sesungguhnya hanya di Pengadilan. Bahkan selama kasus tersebut belum diputus oleh Pengadilan dan belum mempunyai kekuatan hukum tetap, tersangka atau terdakwa belum dapat dikatakan telah bersalah. Tetapi harus tetap berpedoman kepada adagium "praduga tak bersalah" (presumtion of innocent). Asas ini merupakan salah satu hak asasi dari pada tersangka/terdakwa yang mutlak diperhatikan semua pihak.

Kasasi

Dari berbagai peristiwa dan pengalaman diatas, hemat Penulis sesuai sistim hukum dan perkembangan hukum di masyarakat seharusnya setiap putusan bebas atau lepas ditingkat bawah (Pengadilan tingkat pertama dan banding) wajib hukumnya di kasasi ke MA sebagaimana layaknya putusan ‘bersalah’.

Selama ini, menurut UU hanya ‘putusan bersalah’ yang mendapat upaya hukum banding dan kasasi, sedangkan putusan ‘bebas/lepas’ dilarang kasasi oleh UU (vide Pasal 67 dan Pasal 244 KUHAP) tanpa ada penjelasan dalam KUHAP tersebut. Pembuat UU disini tidak adil. Itu sebabnya menurut Keputusan Menteri Kehakiman RI tanggal 10 Desember 1983, Nomor: M.14-PW.07.03 Tahun 1983 menyebutkan, karena alasan situasi dan kondisi demi hukum, keadilan dan kebenaran terhadap ‘putusan bebas’ dapat dimintakan kasasi. Namun sangat disayangkan dalam Keputusan Menteri Kehakiman tersebut tidak diatur mengenai putusan lepas dapat dikasasi atau tidak. Tetapi dalam praktik putusan lepas ini-pun tetap saja dikasasi oleh Jaksa Penuntut Umum. Oleh karenanya, demi penegakan hukum dan keadilan diera reformasi sekarang, MA selaku puncak lembaga tertinggi Yudikatif wajib menerima kasasi Jaksa atas putusan bebas atau lepas dari tingkat pertama atau banding. Jika ada masyarakat tertentu sengaja mempermasalahkan ketentuan Pasal 67 dan Pasal 244 KUHAP itu wajar sesuai dinamika masyarakat yang berkembang.

Agar posisi Keputusan Menteri ini tidak menjadi lemah, karena kedudukannya lebih rendah dari UU No. 8 Tahun 1981 tentang KUHAP, mestinya dalam revisi KUHAP mendatang masalah dapat tidaknya putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum termasuk masalah pembatasan kasasi harus diatur secara tegas didalam KUHAP tersebut. Dan sambil menunggu penyempurnaan KUHAP tersebut, untuk mengisi kekosongan hukum, MA dapat mengeluarkan Peraturan MA (PERMA) terkait masalah putusan bebas/lepas tersebut.

Karena akhirnya semua perkara harus bermuara kepada MA sebagai puncak Kekuasaan Kehakiman, seyogiyanya para Hakim Agung di MA betul-betul menjadi benteng terakhir untuk mencari keadilan masyarakat, termasuk bagi hakim dibawahnya yang putusannya dianggap belum sempurna, tanpa harus pihak luar kekuasaan kehakiman yang mengoreksi putusan hakim dibawah MA.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

jangan lupa komentnya boss...