Pelaku pidana dihukum walaupun tanpa barang bukti.
Apabila kita mencermati ketentuan yang tersurat dalam Pasal 53 ayat (2) huruf b Undang Undang Nomor 5 Tahun 1997 tentang PSIKOTROPIKA dimana pemusnahan psikotropika khusus Golongan I dalam hal berhubungan dengan tindak pidana wajib dilaksanakan paling lambat 7 (tujuh) hari setelah dilakukan penyitaan. Lalu sejauh mana pelaksanaan dilapangan selama ini terhadap ketentuan Pasal 53 ayat (2) huruf b tersebut oleh penegak hukum??? Kalau benar-benar dilaksanakan sesuai ketentuan lalu bagaimana dengan kepentingan pembuktian di persidangan??dan bagaimana pula sanksi atau akibat hukumnya bila ketentuan tersebut tidak dilaksanakan sebagaimana perintah undang-undang???
Perintah undang-undang yang mewajibkan Penyidik untuk memusnahkan barang bukti sitaan berupa psikotropika Golongan I paling lambat dalam waktu 7 hari memang cukup beralasan, karena dikwatirkan apabila tidak segera dimusnahkan akan menimbulkan penyalahgunaan barang sitaan tersebut yang akhirnya dapat merugikan kehidupan pribadi, keluarga, bangsa sehingga pada gilirannya dapat mengancam ketahanan nasional Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemusnahan tersebut efektif dan efisien jika asumsi tangkapannya/penyitaannya dalam jumlah yang besar, namun sebaliknya jika penyidik hanya 1 atau 2 butir yang berhasil disita dari pelaku tindak pidana dengan asumsi 5 hari sekali menyita seperti yang terjadi didaerah-daerah maka saya rasa tidak akan efektif dan tidak efisien baik dari sisi waktu, tenaga, dan beaya, oleh karena bukannya setiap pemusnahan barang bukti psikotropika harus dihadiri oleh pejabat terkait yang berwenang??????????
Disamping itu disisi lain pemusnahan barang bukti dalam waktu 7 hari setelah penyitaan tersebut akan menyulitkan aparat penegak hukum khususnya Jaksa sebagai Penuntut Umum yang berkewajiban untuk membuktikan kesalahan pelaku tindak pidana.
Barang bukti sangat besar maknanya dipersidangan, oleh karena itu sedapat mungkin bisa ditunjukkan didepan persidangan baik kepada saksi-saksi dan atau terdakwa sehingga hal tersebut dapat membentuk suatu keyakinan Hakim yang akan memutus perkara yang diperiksanya.
Yach pengamatan selama ini dilapangan yang terjadi bahwa belum sepenuhnya aparat penegak hukum melaksanakan ketentuan Pasal 53 ayat (2) huruf b tersebut.Walaupun demikian undang-undang tidak ada mengatur sanksi bila ketentuan tersebut dilanggarnya atau tidak dilaksanakannya. Dan kalau benar-benar dijalankan perintah undang-undang tersebut maka trend kedepan akan banyak pelaku tindak pidana yang dituntut oleh Jaksa dan dijatuhi hukuman oleh Hakim walaupun adanya barang bukti psikotropika golongan I.
Kamis, 07 Juli 2011
Minggu, 03 Juli 2011
Pakar Hukum Tata Negara : KPK Temui Jalan Buntu Tangani Sisminbakum
KPK hanya akan menemui jalan buntu kalau menangani kasus Sisminbakum. Ini ditegaskan Margarito Kamis Pakar Hukum Tata Negara.
Margarito mengatakan dalam vonis bebas Romli Atmasasmita mantan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (Dirjen AHU) di Mahkamah Agung, terbukti tidak ada pelanggaran pidana.
“Sehingga, kalau kasus Sismibakum dibawa ke KPK, apa yang mau diperiksa KPK?” ujar Margarito seperti yang dikutip Faiz reporter Suara Surabaya, Sabtu (02/7/2011).
Margarito melihat sekarang ini banyak kasus yang ditangani KPK tetapi mulai ada yang tidak jelas. Apalagi kasus faktual seperti Sisminbakum yang nyata-nyata bukan pidana. Ini dibuktikan lewat vonis terhadap Romli.
Kata Margarito, memang KPK bisa mengambil kasus yang mandeg, tapi tidak ada yang bisa menjamin dimensi politik bermain di KPK. Ia juga menegaskan, kasus ini seharusnya berhenti, kalau dibawa ke KPK tidak tepat karena bukan perkara pidana. Menurut Margarito, KPK akan suka-suka saja menentukan seorang jadi tersangka.
Sebelumya Chandra Adiwana Sekjen Lembaga Pemantau Penyelenggara Triaspolitika Republik Indonesia (LP2TRI) di Gedung KPK, menyatakan ada peluang KPK untuk mengambil alih kasus ini.
Dalam Pasal 8 UU KPK, termaktub KPK bisa mengambil alih penyidikan sebuah kasus dari kepolisian dan atau kejaksaan, kalau penanganan kasus itu berjalan lambat. Selain itu, dalam Pasal 11 UU KPK juga diatur, kalau sebuah kasus dugaan korupsi terdapat unsur keterlibatan aparat penegak hukum, penyelenggara negara dan mendapat perhatian masyarakat,KPK bisa mengambil alih kasus itu.(faz/git)
Margarito mengatakan dalam vonis bebas Romli Atmasasmita mantan Direktur Jenderal Administrasi Hukum Umum (Dirjen AHU) di Mahkamah Agung, terbukti tidak ada pelanggaran pidana.
“Sehingga, kalau kasus Sismibakum dibawa ke KPK, apa yang mau diperiksa KPK?” ujar Margarito seperti yang dikutip Faiz reporter Suara Surabaya, Sabtu (02/7/2011).
Margarito melihat sekarang ini banyak kasus yang ditangani KPK tetapi mulai ada yang tidak jelas. Apalagi kasus faktual seperti Sisminbakum yang nyata-nyata bukan pidana. Ini dibuktikan lewat vonis terhadap Romli.
Kata Margarito, memang KPK bisa mengambil kasus yang mandeg, tapi tidak ada yang bisa menjamin dimensi politik bermain di KPK. Ia juga menegaskan, kasus ini seharusnya berhenti, kalau dibawa ke KPK tidak tepat karena bukan perkara pidana. Menurut Margarito, KPK akan suka-suka saja menentukan seorang jadi tersangka.
Sebelumya Chandra Adiwana Sekjen Lembaga Pemantau Penyelenggara Triaspolitika Republik Indonesia (LP2TRI) di Gedung KPK, menyatakan ada peluang KPK untuk mengambil alih kasus ini.
Dalam Pasal 8 UU KPK, termaktub KPK bisa mengambil alih penyidikan sebuah kasus dari kepolisian dan atau kejaksaan, kalau penanganan kasus itu berjalan lambat. Selain itu, dalam Pasal 11 UU KPK juga diatur, kalau sebuah kasus dugaan korupsi terdapat unsur keterlibatan aparat penegak hukum, penyelenggara negara dan mendapat perhatian masyarakat,KPK bisa mengambil alih kasus itu.(faz/git)
MAHASISWA HUKUM UNANDA PALOPO
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Andi Djemma (Unanda) Palopo ikut beraksi menyikapi aksi polisi lalulintas yang turun ke jalan menggelar razia dan kerap mengamankan kendaraan bermotor.
Menurut Suhdihan Hamry SH MH, Koordinator Luwu Lawyer Club (LLC), dalam diskusi lepas yang diadakan mahasiswa Fakultas Hukum Unanda Palopo, polisi tidak mesti mengamankan kendaraan warga yang terjaring dalam razia di kantor polisi.
''Motor baru bisa diamankan kalau kelengkapan seperti SIM dan STNK tidak ada saat kena razia. Tapi, kalau salah satu dari SIM dan STNK ada, maka polisi tidak mesti membawa motor ke kantor polisi,'' tandas Suhdihan Hamry.
Juga yang menjadi pertanyaan Suhdihan dalam diskusi yang diikuti para mahasiswa fakultas hukum Unanda, surat tilang yang sampai ke Pengadilan Negeri (PN) untuk disidangkan. ''Warga sebaiknya meminta surat tilang dari polisi ketika motornya kena razia. Nanti di pengadilan putuskan berapa biaya yang harusnya dibayar akibat kelalaiannya dalam menggunakan kendaraan, bukan di kantor polisi,'' tandasnya.
Mahasiswa fakultas hukum Unanda yang hadir dalam diskusi itu antara lain; Munsir Umar (ketua Senat), Nawir, Erik Kiswanto, Nardi, Herliansyah (Menteri Hukum dan HAM BEM Unanda), Hamzah, dan Nasrum Naba.
Selain Suhdihan, pembicara lain yang hadir dalam diskusi yang berlangsung di warkop Phoenam, Nuryadin SH MH MSi. Dia juga adalah dosen pada Fakultas Hukum Unanda.
Hal lain yang mengemuka dalam diskusi yang dipandu Munsir, Hamzah dan Herliansyah itu, UU No.22 tahun 2009. Polisi lalulintas yang harusnya menyosialisasikan hal itu ke masyarakat, tapi kelihatannya sudah mau memberlakukan di lapangan. Itu dapat dilihat dari penindakan yang dilakukan saat dalam razia. ''Polisi lalulintas sepertinya tidak tahu kalau tindakan mereka itu, juga melanggar. Bentuk pelanggarannya antarlain tidak memasang tanda-tanda di jarak 50 meter,'' ujar Munsir.
Padahal, kata Nasrum dan diiyakan Nawir, Erik, dan Nardi, itu baru bisa diberlakukan kalau sudah ada PP yang terbit sebagai implementasi dari UU No. 22 tahun 2009 itu. ''Jadi kami kira yang perlu dilakukan polisi adalah menggelar sosialisasi tentang UU No.22 tahun 2009 itu,'' ucap mahasiswa fakultas hukum Unanda.
Sementara itu, Nuryadin, mengatakan, setiap minggunya, mahasiswa fakultas hukum Unanda akan melakukan diskusi dan membahas topik-topik yang hangat terjadi di Palopo. ''Yang didiskusikan dari aspek hukumnya. Begitu juga dengan sweeping lantas ini, yang kita bahas adalah dari aspek hukum. Apakah dari aspek hukum sudah sesuai ataukah ada kekeliruan dalam menerapkannya. Nah, ini yang kita kritisi dan masyarakat wajib menolak kalau kepolisian dalam melakukan razia menyalahi prosedur,'' ujar Nuryadin. (mg1-him/ary/ikh/t)
Menurut Suhdihan Hamry SH MH, Koordinator Luwu Lawyer Club (LLC), dalam diskusi lepas yang diadakan mahasiswa Fakultas Hukum Unanda Palopo, polisi tidak mesti mengamankan kendaraan warga yang terjaring dalam razia di kantor polisi.
''Motor baru bisa diamankan kalau kelengkapan seperti SIM dan STNK tidak ada saat kena razia. Tapi, kalau salah satu dari SIM dan STNK ada, maka polisi tidak mesti membawa motor ke kantor polisi,'' tandas Suhdihan Hamry.
Juga yang menjadi pertanyaan Suhdihan dalam diskusi yang diikuti para mahasiswa fakultas hukum Unanda, surat tilang yang sampai ke Pengadilan Negeri (PN) untuk disidangkan. ''Warga sebaiknya meminta surat tilang dari polisi ketika motornya kena razia. Nanti di pengadilan putuskan berapa biaya yang harusnya dibayar akibat kelalaiannya dalam menggunakan kendaraan, bukan di kantor polisi,'' tandasnya.
Mahasiswa fakultas hukum Unanda yang hadir dalam diskusi itu antara lain; Munsir Umar (ketua Senat), Nawir, Erik Kiswanto, Nardi, Herliansyah (Menteri Hukum dan HAM BEM Unanda), Hamzah, dan Nasrum Naba.
Selain Suhdihan, pembicara lain yang hadir dalam diskusi yang berlangsung di warkop Phoenam, Nuryadin SH MH MSi. Dia juga adalah dosen pada Fakultas Hukum Unanda.
Hal lain yang mengemuka dalam diskusi yang dipandu Munsir, Hamzah dan Herliansyah itu, UU No.22 tahun 2009. Polisi lalulintas yang harusnya menyosialisasikan hal itu ke masyarakat, tapi kelihatannya sudah mau memberlakukan di lapangan. Itu dapat dilihat dari penindakan yang dilakukan saat dalam razia. ''Polisi lalulintas sepertinya tidak tahu kalau tindakan mereka itu, juga melanggar. Bentuk pelanggarannya antarlain tidak memasang tanda-tanda di jarak 50 meter,'' ujar Munsir.
Padahal, kata Nasrum dan diiyakan Nawir, Erik, dan Nardi, itu baru bisa diberlakukan kalau sudah ada PP yang terbit sebagai implementasi dari UU No. 22 tahun 2009 itu. ''Jadi kami kira yang perlu dilakukan polisi adalah menggelar sosialisasi tentang UU No.22 tahun 2009 itu,'' ucap mahasiswa fakultas hukum Unanda.
Sementara itu, Nuryadin, mengatakan, setiap minggunya, mahasiswa fakultas hukum Unanda akan melakukan diskusi dan membahas topik-topik yang hangat terjadi di Palopo. ''Yang didiskusikan dari aspek hukumnya. Begitu juga dengan sweeping lantas ini, yang kita bahas adalah dari aspek hukum. Apakah dari aspek hukum sudah sesuai ataukah ada kekeliruan dalam menerapkannya. Nah, ini yang kita kritisi dan masyarakat wajib menolak kalau kepolisian dalam melakukan razia menyalahi prosedur,'' ujar Nuryadin. (mg1-him/ary/ikh/t)
Target Terima 1.000 Mahasiswa
PALOPO – Universitas Andi Jemma (Unanda) Palopo menargetkan menerima 1.000 mahasiswa baru pada tahun akademik 2011/2012.Rektor Unanda Palopo Prof Lauddin Marsuni optimistis target tersebut bisa tercapai.
Pada hari pertama pendaftaran,kemarin, tercatat ada 135 orang resmi mendaftar, 88 orang mengambil formulir pendaftaran, dan 6 orang telah mengambil kartu tes. “Kami menargetkan tahun ini Unanda menerima sekitar 1.000 mahasiswa untuk sembilan program studi di tujuh fakultas. Ini sebagai salah satu langkah persiapan Unanda menuju perguruan tinggi negeri,” kata Lauddin, yang juga guru besar Ilmu Ketatanegaraan Unanda.
Unanda Palopo memiliki tujuh fakultas, yakni Fakultas Pertanian,Perikanan,Kehutanan, Ekonomi, Sospol, Teknik, dan Hukum. Dari sembilan program studi di tujuh fakultas tersebut, tersisa program studi hukum di Fakultas Hukum yang belum terakreditasi karena baru satu tahun dibuka. Persyaratan akreditasi prodi bisa dilakukan setelah dua tahun.
Untuk penerimaan mahasiswa baru tahun ini, Unanda tidak hanya memprioritaskan mahasiswa asal Luwu Raya. Unanda juga memprioritaskan mahasiswa dari interland Luwu Raya,terutama dari Kabupaten Wajo,Toraja,Toraja Utara, termasuk dari Provinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara.
Segala persyaratan administrasipeningkatanstatusUnanda menjadi negeri, telah dipenuhi rektorat sejak akhir Mei. “Kecualisatupersyaratan lagi,yakni sertifikat lahan seluas 30 hektare yang dihibahkan Pemkab Luwu.Jika lahan ini telah disertifikatkan atas nama aset Unanda, tahun ini status perguruan tinggi negeri paling lambat awal 2012,”katanya. Seputar Indonesia-chaerul baderu.....
Pada hari pertama pendaftaran,kemarin, tercatat ada 135 orang resmi mendaftar, 88 orang mengambil formulir pendaftaran, dan 6 orang telah mengambil kartu tes. “Kami menargetkan tahun ini Unanda menerima sekitar 1.000 mahasiswa untuk sembilan program studi di tujuh fakultas. Ini sebagai salah satu langkah persiapan Unanda menuju perguruan tinggi negeri,” kata Lauddin, yang juga guru besar Ilmu Ketatanegaraan Unanda.
Unanda Palopo memiliki tujuh fakultas, yakni Fakultas Pertanian,Perikanan,Kehutanan, Ekonomi, Sospol, Teknik, dan Hukum. Dari sembilan program studi di tujuh fakultas tersebut, tersisa program studi hukum di Fakultas Hukum yang belum terakreditasi karena baru satu tahun dibuka. Persyaratan akreditasi prodi bisa dilakukan setelah dua tahun.
Untuk penerimaan mahasiswa baru tahun ini, Unanda tidak hanya memprioritaskan mahasiswa asal Luwu Raya. Unanda juga memprioritaskan mahasiswa dari interland Luwu Raya,terutama dari Kabupaten Wajo,Toraja,Toraja Utara, termasuk dari Provinsi Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara.
Segala persyaratan administrasipeningkatanstatusUnanda menjadi negeri, telah dipenuhi rektorat sejak akhir Mei. “Kecualisatupersyaratan lagi,yakni sertifikat lahan seluas 30 hektare yang dihibahkan Pemkab Luwu.Jika lahan ini telah disertifikatkan atas nama aset Unanda, tahun ini status perguruan tinggi negeri paling lambat awal 2012,”katanya. Seputar Indonesia-chaerul baderu.....
Langganan:
Komentar (Atom)